jaeminkeprabon

“Bid, liat nomer 4 lo gimana,”

Tangan kanan lelaki manis yang sedang menari-nari diatas buku tulisnya terhenti sejenak dan beralih ia gunakan untuk menggeser buku tersebut.

“Gue foto aja dah, biar lo cepet selesai.”

Enggan untuk berbicara, sebagai gantinya pemuda itu hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

“Bakso yang anak-anak kemaren bilang enak itu judulnya apa ya, Ki?”

“Dih apaan judul bakso anying hahahah.”

“Eh namanyaaa hahah.”

“Gue lupa nama restonya, pokoknya keluar gerbang sekolah ini lo tinggal luuuurus ampe notok terus belok kanan nah terus nanti keliatan Es Teh, nah di sebelahnya pas,” ujar Kiki panjang lebar sembari menulis. Mereka berdua mengabaikan Bu Yuni selaku guru mata pelajaran Kimia yang di depan sana sedang berceramah tentang menantu dan cucunya yang baru saja lahir.

“Oh, deket banget berarti.”

“Lo mau kesana sama Farell?”

“Yoi.”

“Ati-ati jangan ampe salah naik motor lo,” ucap Kiki dengan nada mengejek yang mengundang sang lawan bicara untuk menoyor kepalanya.

“Emang anjing luuuu.”


“Ayeee,” sapa Farell kepada kekasihnya di telepon.

“Lama bangeeet, Fareeelll. Kamu dimana?”

“Eh, iya maaf ya, aku abis cek motor ternyata ga mau nyala dan barusan aja aku taruh di bengkel. Kamu gausah ikut aku, tunggu di lobby dalem aja ya, ay?”

“Hah kok bisaa?”

“Gak tau sumpah. Kamu tunggu di dalem aja, jangan kemana-mana.” ucap lelaki April itu yang terdengar sedikit panik.

“Ah, aku nyusul aja. Lagian ngapain nunggu di sekolah, temen-temen aku udah pulang,”

“Ay, nurut aku. Tunggu aja di lobby ya?”

”Hhhhh, tapi jadi kan jalan-jalannya?” dari seberang sana terdengar helaan nafas Abid yang berat.

“Iya, sayang.”

”Yaudah, ati-ati yaa.”

“Yaaa, jangan kemana-mana.” usai menutup teleponnya, kedua mata lelaki yang memiliki jabatan sebagai ketua koor itu kembali memicingkan kepada pemuda yang sedang berada di seberangnya.

Matahari pada siang hari ini sedang enggan untuk memunculkan eksistensinya, entah karena sedang malas atau tertidur. Namun, sebagai gantinya, tetesan-tetesan air dari langit bumi yang berjatuhan dengan deras menjadi pengganti kehadiran sang matahari untuk sementara waktu ini. Warna langit yang berubah menjadi gelap keabu-abuan laksana menggambarkan perasaan seseorang yang sedang patah hati akibat hubungan percintaannya bertepuk sebelah tangan. Tetapi, sangat berbanding terbalik dengan kedua anak adam yang justru sedang tertawa haha hihi, benar-benar seperti sedang berada di dunia yang isinya tidak ada siapapun—melupakan sebuah fakta bahwa langit yang mereka pandangi sedang murung, dan juga tidak ikut campur teman kelas Abid yang sedang rusuh di belakang.

Kedua anak adam tersebut bercengkrama di depan kelas 11 IPA 5, alias kelas Abid. Terkadang, atensi salah satu dari mereka berpindah ke lapangan, memandangi lapangan kakak kelasnya yang sedang bermain futsal. Tak lupa juga kedua tangan kanan mereka membawa gorengan tahu sebagai camilan, yang tadi mereka beli di kantin, hingga sempat ada protesan kecil yang keluar dari mulut Farell karena pacarnya membeli terlalu banyak gorengan.

Semakin lama mereka bercengkrama, maka terdengar semakin tidak jelas juga topik yang mereka bicarakan, seperti parodi adegan dari series Layangan Putus—dan tidak lupa juga mereka membicarakan berita mengenai Rio Ramadhan yang katanya media sosialnya di hack dan berakhir dengan lorong kelas 11 IPA 4, 5, 6, dan 7 diisi oleh tawa sepasang kekasih tersebut hingga menggema.

“Ada match lagi kapan, Rell?” tanya Abid yang sedang menyandarkan kepalanya di atas bahu sang kekasih. Dengan catatan, mereka berani sedekat itu karena tidak ada guru di sekitarnya, alias semua guru kini tengah melakukan rapat di ruang guru.

“Hmmm sekarang hari Rabu ya. Berarti masih minggu depan.”

“Nanti ngerjain koreo lagi?”

“Iya lah. Tiap hari kan ga pernah libur kumpul koor,” lelaki yang lahir di bulan April itu mencubit pipi kekasihnya penuh gemas.

“Gamaau. Gaboleeh. Farell nanti langsung pulang aja yaa?” bibir milik sang pelaku melengkung ke bawah dengan ekspresi sedih bak anak kucing yang sedang meminta makanan tambahan kepada majikannya. Dan tentunya pemuda yang sedang melihat ekspresi tersebut memberontak dalam hati karena aksi sang kekasih yang tiba-tiba itu.

“Hahahaah kok gituuu? Kamu aja ya yang aku culik?! Malem ini kamu ga boleh pulang ke rumah.” canda Farell dengan lagaknya berpura-pura untuk menculik dengan menangkup kepala sang kekasih menggunakan kedua tangannya lalu membawanya ke kantong celananya. “Aaah, Fareeelll, akuuu kangeeen,” gerutu Abid.

“Kangen anak koor?” Abid enggan menjawab, yakni sebagai gantinya ia hanya menggigit pelan lengan pemuda di sebelahnya. “Aaaah sakit, sakit!”

“Alay alay.” Abid mencibir.

“Serius ah, aku kangeeeen,”

“Aku loh disini, ga kemana-mana, ay.” Farell menata poni milik kekasihnya yang sudah mulai panjang itu, hingga sedikit menutupi penglihatan sang pemilik. “Potong rambut gih, ay. Poni kamu udah mulai panjang ini.”

“Iyaa gampang, ntar weekend aja.”

“Besok Jum’at aku kayaknya free deh, mau jalan-jalan?” ucap Farell yang mengundang seruan dari sang lawan bicara. “Yaaa mauu laah! Aku lagi pengen ke Papaya, Rell. Terus mau nyoba bakso deket sini yang katanya temen-temenku enak!”

“Tumben bakso, biasanya bm taichan.”

“Lagi bosen heheeee. Boleh yaaa?”

“Apaa ciiii yang ngga buat Abid Sanubrataaaa,” jawab Farell dengan nada suara yang dibuat-buat.

“IIH ALAAY!”

“Hahahahah.”


Kedua matanya memperhatikan jam tangan yang menempel di tangan kiri lelaki Agustus itu, dan menunjukkan pukul 16.38 sore. Ia baru saja selesai rapat ekskul dan di pikirannya yang sekarang hanya ingin segera sampai di rumah karena ingin mengistirahatkan tubuhnya yang pegal itu.

Namun langkah kakinya tiba-tiba terhenti, atensinya tergerak menuju motor milik kekasihnya yang terparkir di lapangan dekat pintu masuk Neo 1.

Alhasil, sebuah ide muncul di benaknya.

Matanya tergerak untuk melihat sekitarnya, memastikan tidak ada seseorang sebelum ia merobek secarik kertas dari buku tulisnya. Kemudian ia menuliskan kata-kata penyemangat yang ditujukan untuk sang kekasih, dan tak lupa juga dengan coretan-coretan lucu dan tulisan “I love you” “Mwah” yang ia tulis berkali-kali.

Dirasa sudah selesai dengan tulisannya, lelaki itu kemudian melipat kertas yang ia pegang dan menaruhnya di atas jok motor milik Farell.

“Heheheheheheee,” Abid menyengir sebelum ia berlari menuju keluar gerbang sekolah untuk pulang bersama bapak Go-Jek yang sudah menunggu kehadirannya dari tadi.

Hari-hari berlalu seperti biasa, tidak ada yang terlalu spesial juga. Farrell, Abid dan teman-teman yang lainnya juga masih menjalani kesehariannya seperti biasa, yakni sekolah, pulang ke rumah, mengerjakan PR, tidur, repeat.

Di pagi hari Selasa yang cerah ini, mata pelajaran pertama yang diikuti kelas Abid adalah Olahraga. Fyi, Abid sebenarnya bukanlah tipe orang yang suka berolahraga, jadi hari ini ia tidak mengikuti pelajaran itu bersama beberapa teman kelasnya dengan beralasan tidak enak badan. Sangat berbeda dengan kekasihnya, Farell, yang memiliki hobi melakukan kegiatan fisik atau workout setiap minggu. Kekasihnya itu akan tetap menyempatkan waktu kosongnya untuk berolahraga meskipun ia memiliki jadwal yang sangat padat di sekolah karena jabatannya yang sebagai ketua koor Neo 1.

Dan sekarang, saat ini juga, Abid hanya duduk di koridor yang menghadap lapangan basket dengan seragam putih abu-abu nya yang menempel di badannya. Kedua bola matanya secara terus menerus mengamati teman-temannya yang sedang meregangkan tubuhnya, berlari ke sana dan ke sini, dan juga melompat-lompat kecil untuk pemanasan sebelum melakukan kegiatan permainan bola voli yang sebagai materi pada hari ini.

Dikarenakan ada rapat mendadak di ruang guru, Pak Nurdin, selaku guru olahraga kelas 11 IPA datang menuju tempat berkumpulnya anak-anak kelas 11 IPA 5, 6, dan 7 yang memiliki jadwal pelajaran olahraga pada hari ini dengan sedikit terlambat.

Setelah mengucapkan salam dan sedikit ceramah yang diberikan oleh Pak Nurdin, beliau juga tidak lupa untuk mengabsen murid-muridnya di hari ini.

“Abid Sanubrata,” panggil Pak Nurdin.

Dari sedikit kejauhan, Abid mengangkat tangannya dan menjawab, “Sakit, Pak.” Yang kemudian dibalas anggukan oleh Pak Nurdin.

“Sakit boongan itu, Pak,” ucap Kiki dengan nada bercanda. Dan dari kejauhan, Abid melotot sambil mengepalkan tangan kanannya yang diangkat, dengan maksud untuk bersiap-siap memukul Kiki.

Tak lama kemudian, kegiatan absen-mengabsen pagi ini sudah selesai dan setelah itu dilanjut dengan kegiatan permainan bola voli.

“Abeeeeeddd pesen Go-Food yuuk!” seru Kezia yang saat ini juga tidak mengikuti pelajaran olahraga.

“Mau beli apaan emangnya?”

McD mau gak?”

“Hmm, ayok deh. Gue lagi bm sausage wrap nya.” “Okays!

“Ajak yang lain juga biar ongkirnya murah, Kez.”

“Eeh, gue sausage wrap yang paket ya. Kayak biasanya, minumnya ganti milo ngga pake es, tapi kalo ngga bisa ganti milo, teh sosro aja ya,” tambah Abid.

“Buuuset ni bocah banyak maunya dah.” Kezia meggeleng-geleng sambil membuka aplikasi Gojek di ponselnya, dan lelaki itu membalasnya hanya dengan cengiran.


Beberapa menit berlalu.

Teman-temannya yang sedang melakukan permainan bola voli di lapangan terlihat sangat semangat, sedangkan Abid merasa bosan karena hanya mendengarkan lagu Mata Hati Telinga oleh MALIQ & D’Essentials dari headsetnya dan tangan kanannya yang dari tadi hanya digunakan untuk scroll timeline Twitternya—membaca berita-berita yang sedang ramai mengenai Ardhito Pramono yang ditangkap karena menggunakan obat-obatan terlarang.

Tak lama kemudian, handphonenya memunculkan sebuah notifikasi chat dari kekasihnya, yang sampai membuat Abid terkejut saat melihat ke depan koperasi sekolah.

Kaisar's pov


Kalo kalian bilang gua jahat karena ngga bales dm nya Saddam dan malah ngeblock semua medsos dan kontaknya, bilang aja jahat gapapa. Tapi gua ngelakuin itu semua demi kebaikan diri gua sendiri, gua udah cukup dengan semua hal tentang per-Saddam-an itu dan kalian ngga akan pernah ngerti gimana gua tiap hari selalu overthinking karena ngerasa gua adalah penyebab di balik semua kegagalan hubungan kita berdua, Kaisar dulu yang brengsek, egois, sampe-sampe orang yang udah janji sama gua kalo dia ngga bakal ninggalin gua aja bisa capek dan akhirnya sampe memilih untuk mengingkar janjinya tadi. Intinya, gua menutup segala bentuk komunikasi gua dengan Saddam karena ini cara gua untuk move on, gua adalah tipe orang yang ngga bisa masih bersahabat dengan mantan.

Tapi meskipun gua sama Saddam punya kisah yang berakhirnya ngga enak dan bagaimana perlakuan dia ke gua, gua ngerasa sangat bersyukur bisa ketemu cowok kayak dia, gua bersyukur selama masa-masa sekolah gua waktu SMA bisa lebih berkesan karena cowok itu. Karena bisa dibilang Saddam punya pengaruh besar di kehidupan gua.

Beberapa hari yang lalu gua abis ambil ijazah ke sekolah, and as always setiap gua ke sekolah pasti gua punya perasaan aneh. Seketika memori-memori gua bareng dia sewaktu sekolah dulu muncul di bayangan.

Liat koridor sekolah, rasanya kayak baru kemaren kita berdua dengerin lagu Avenged Sevenfold sambil ketawa-ketawa ngga jelas soalnya dia baru tau gua suka dengerin lagunya.

Liat koridor depan kelas, rasanya kayak baru kemaren kita berdua tiap istirahat ngakak ngakak ngga jelas ampe ditegur temen kelas gua karena terlalu berisik.

Liat tangga sebelah kelas gua, rasanya kayak baru kemaren kita berdua sok sok an sedih karena jam istirahat udah selesai, jadi harus pisah alias Saddam balik ke kelasnya.

Liat lapangan futsal, rasanya kayak baru kemaren pas kartinian gua fotbar sama dia terus bareng sama temen kelas gua juga.

Ah, kalo gua ceritain semuanya kayaknya ntar lu pada mual dah hahahah. Pokoknya setiap sudut di sekolah kita dulu bener-bener selalu punya cerita tentang kita berdua...

Ngeliat dia sama pacar barunya, gua ngerasa sedih banget dan salah satunya karena semua sifat dia bener-bener berubah, sampe ke circle pertemanannya juga berubah karena cewek barunya, yang bahkan dulu tuh kalo dipikir-pikir kalo Saddam temenan dan jadian sama cewek itu tuh kayak diluar nalar. Tapi gua bilang gini bukannya ngga terima atau iri gitu ya, di sisi lain gua bahagia dia bisa keluar dari zona nyamannya yaitu gua. Gua pernah denger orang bilang, kalo manusia itu sifat dasarnya emang berubah-ubah, dan mungkin itu emang bener sih.

Tapi gapapa, gua udah rela dan ikhlas sama semua ini kok manteman..

Oh iya, there's one thing for sure and I just realized that lately I just miss the moment not even the person he is now..

He left me and turned into someone I don't know, but at least I still have something that will forever stay by my side; my memories with him, memories that last forever.

But in another life I would make you stay, Dam.

So I don't have to say you were the one that got away.

Gua tau ini ngga bakal dibaca Saddam—tapi, gua selalu mendoakan yang terbaik buat lu dan demi Tuhan meskipun kita berdua pernah ngelewatin masa-masa yang buruk dan se-brengsek apapun perlakuan lu ke gua, gua ngga pernah doain lu yang jelek-jelek, Dam.

Kaisar's pov

Aku sangat merekomendasikan kalian untuk baca part ini sambil dengerin lagunya “Noni – Things I Could Never Say To You” yaa! Biar makin nge-feel aja sih bacanyaa hehe :D

[https://open.spotify.com/track/2J4ZN4hnqbF4UFsVtJB7Ox?si=6ea6590d0e3e4ae1]


Selama setelah gua terakhir kontak an sama Saddam, di bulan awal-awalnya gua merasa sedikit tenang karena tiba-tiba aja ada feeling kalo gua sama Saddam masih ada harapan, apalagi dulu waktu gua chat-chat an sama dia, se-pengetahuan gua sih kayaknya Saddam sama Aca waktu itu lagi berantem. Ya gua tau kok sebenernya gaboleh dan goblok banget kalo berharap sama orang yang udah dimiliki. Bukannya gua bermaksud untuk doain mereka putus, tapi gua kira ternyata beberapa bulan lalu ini Saddam mau balik ke gua setelah apa yang kita laluin sewaktu dia tiba-tiba ngechat gua itu.

Setelah sekian lama juga, akhirnya gua kembali memberanikan diri untuk ngestalk dikit-dikit twitter nya Aca. Dan baru aja gua buka account nya, gua langsung baca tweet nya kalo intinya mereka berdua abis dari mall dan tangan Saddam ngelingkar di pundaknya Aca selama mereka jalan-jalan. Gua jadi mikir, andai aja kalo kita masih pacaran, mungkin yang ngetik kayak begitu seharusnya adalah gua. Dan seketika jantung gua langsung berdetak lebih cepet dan tangan gua sedikit gemeter.

Dengan keberanian gua yang sedikit itu, gua ngescroll twitter nya Aca lagi, dan isinya kebanyakan cuma konten-konten bucinnya sama Saddam. Dan ada satu tweet yang bikin gua berhentiin jempol buat ngescroll, Aca pernah ngetweet “Kamu mau nyingkirin aku?? Mana bisaaa tsaaaay.” dan gatau kenapa gua ngerasa kalo seakan-akan tweet itu ditujukan buat gua meskipun kita ngga mutual an. Gua udah muak banget sama semua itu dan akhirnya gua lempar hape ke kasur.

Gua benci banget keadaan kayak gini. Karena gua ngerasa dejavu kayak waktu awal-awal putus dulu, Saddam juga pernah ngasih harapan ke gua dan nyuruh gua untuk sabar sambil menunggu waktu yang tepat, tapi apa akhirnya? Ya kalian liat sendiri aja sekarang dia sama siapa hahahah.

Emang sih, selama dia ngechat gua waktu itu ya ngga kayak ngasih harapan tapi gatau gua ngerasa dia punya maksud yang terselubung di balik semua itu, tapi akhirnya dia ngga bisa ngungkapin itu karena keadaan yang ngga memungkinkan, atau bisa jadi karena dia emang udah gamau cerita aja.

Setelah berlama-lamaan adu tatap sama langit-langit kamar, gua tiba-tiba keinget quotes nya Ancika alias pacarnya si Dilan yang baru, yang bunyinya “Dia memang punya masa lalu, tetapi saya punya Dilan.” and this hit me so hard, gua ngerasa kayak seakan-akan yang ngomong gitu itu adalah si Aca. And I'm kinda wondering too kalo Aca pasti bangga banget bisa jadi satu-satunya orang yang dipilih sama Saddam dan bisa bertahan lama, because I used to be proud too.....

Gua beranjak dari kasur dan berjalan menuju kursi meja belajar, terus gua ambil dompet dan ambil beberapa foto polaroid gua sama Saddam.

Gua liatin foto-foto itu lama banget sambil inget-inget ini kapan diambilnya dan memori yang berkesan waktu itu apa aja. Di antara lembaran-lembaran foto itu, ada 1 sticky notes nyelip yang tulisannya “Punya Saddam” dan seketika gua langsung ketawa, karena gua inget banget itu Saddam yang nulis buat di taruh di binder gua. Karena gua lagi iseng, gua ambil hape buat ngefoto polaroid semua itu dan gua tweet fotonya dengan caption “wts & open bid polaroid rare alias polaroid Saddam-Kaisar”.

Setelah puas ketawa ngeliat temen-temen gua nge-reply tweet tadi, akhirnya gua kembali ngeliat foto-foto polaroid itu lagi, tapi lama-kelamaan tanpa disadari, air mata gua turun begitu aja dan akhirnya gua jadi nangis se-nangis nangis nya.

Gua nangis sambil teriak, karena kebetulan di rumah cuma ada gua doang.

Gua bingung banget, karena gua gamon tuh sebenernya karena masih cinta sama Saddam atau cuma kangen dengan kebiasaan dan kenangan kita di masa lalu? Selama 1 tahun semenjak putus ini gua masih bimbang dan bingung di antara kedua hal tersebut, sampe-sampe gua juga udah ngga sanggup nanggepin kalo ada orang baru yang deketin gua, karena gua juga masih sedikit takut untuk buka hati ke orang lain karena dua hal tadi yang belum pasti.

Dan gua agak benci tiap dengerin orang ngomong ke gua kayak “Saddam aja udah bisa tanpa kamu di kesehariannya, Sar. Masa kamu ngga bisa sih? Ya harusnya bisa dong!” ya jelas belum tentu bisa karena menurut gua kita berdua adalah 2 orang yang berbeda, tingkatnya rasa sayang yang kita kasih ke satu sama lain juga beda, dia juga mungkin tipe orang yang bisa dengan gampangnya sepik sana sini terus besoknya jadian sedangkan di sisi lain gua nya masih stuck sama hubungan kita dan mencari segala cara agar bisa kembali lagi.

Di tengah-tengah gua sibuk dengan pikiran yang kacau itu, tiba-tiba ada yang ngetuk pintu dan ternyata itu Ayah.

Gua langsung naik ke kasur dan nutup semua badan gua dengan selimut, terus Ayah nyusul duduk di sebelah gua.

“Dek, dari tadi Ayah panggil kamu kok ngga turun-turun sih?”

“Oh iya maaf, Yah. Adek ngga denger.”

“Issshhh itu lhoo jajan kamu udah Ayah bawain banyak-banyak, jangan kemulan di selimut gini dong. Nanti jajannya keburu di ambil tikus lho, Dek.” kata Ayah sambil usap-usap selimut gua.

“Iya iyaaa, nanti adek turunnya agak ntaran. Ayah duluan aja.”

“Kamu kenapa sih tiba-tiba gini? Sakit? Ngga sakit ih, badannya ngga panas gitu,”

Jeda beberapa detik, akhirnya gua ngomong “Adek habis nangis, Yah.”

“Kenapa nangis? Ada yang nyakitin Kaisar?”

“Ada,” jawab gua singkat, padat, dan jelas.

Setelah itu hening beberapa detik, dan akhirnya Ayah membuka pembicaraan.

“Saddam, ya?”

Gua langsung natap wajah Ayah, “Ayah kok masih inget Saddam?....” terus Ayah ketawa pelan.

“Gimana Ayah ngga inget, orang dulu kamu bucin banget, Dek.”

“Iiih Ayaah ngga usah diinget-inget lagi napa siiih.”

“Hehehe, kalian dulu lucu banget.”

Dengan secepat kilat gua jawab, “Ya dulu, sekarang mah Saddam amit-amit.” dan abis itu Ayah ketawa lagi.

Selama jeda beberapa menit, Ayah usap-usap rambut gua sambil berceramah, “Ayah ngga tau se-sakit apa yang Kaisar rasakan dari dulu hingga sekarang, tapi Ayah minta maaf ya kalau Kaisar harus ngelewatin masa-masa buruk itu meskipun Ayah tau dengan pasti kalau Kaisar anaknya baik dan ngga suka aneh-aneh. Ayah juga minta maaf kalau kamu selalu merasa bersalah karena kamu adalah penyebab kegagalan hubungan kalian, padahal ngga, ya memang sudah waktunya hubungan kalian yang ngga sehat itu harus berakhir. Terima kasih ya, Nak? Sudah bisa menjadi salah satu anak Ayah yang selalu bisa diandalkan dan dibanggakan. Ayah tau kalo kamu mungkin selalu jengkel kalo ada temen kamu yang bilang nyuruh move on lah, nyuruh nyari pacar baru lah, nyuruh itu lah, ini lah, Ayah tau kamu paling ngga suka di atur apalagi dengan mereka-mereka yang ngga tau jelas persis gimana rasanya menjadi seorang Kaisar Baskara yang harus menanggung sendiri semua rasa sakit yang dikasih sama orang yang jelas-jelas dia lagi enak-enaknya bahagia sama seseorang yang baru.” dan lama kelamaan air mata yang tadi gua tahan-tahan mulai keluar dan ngalir deras di pipi.

“Kalo Saddamnya udah keterlaluan, jangan sungkan-sungkan nyuruh Ayah buat gebukin dia ya, Sar?”

“Ihh Ayah mah dulu bilangnya ngga boleh main fisik.”

“Hehehehe Ayah bercanda.”

“Tapi serius ya, Sar. Kalo Saddam nyakitinnya udah keterlaluan, bilang Ayah ya, Nak? Atau bilang ke Mas Nabil juga boleeeh.” dan setelah itu gua ngangguk pelan.

Dalem hati gua mbatin, ”Yeh gimana Saddamnya mau nyakitin yang keterlaluan lagi, orang bocahnya udah ngga peduli sama gua,”

“Kaisar jangan terlalu sering lihat ke belakang ya, Nak. Apa yang sedang kamu lalui sekarang dan yang akan kamu lalui besok-besok itu jauh lebih penting daripada buang-buang waktu mengenang memori yang jelas-jelas ngga akan terulang kembali. Boleh kok sesekali dikenang kalo sekedar hanya untuk hiburan, tapi jangan sampe terlalu berlarut.”

“Iya, Ayah.”

“Ada yang lagi deketin Kaisar ngga?” tanya Ayah secara tiba-tiba. Sebenernya ini pertanyaan yang agak sensitif karena gua nya sendiri juga masih agak risih kalo ada orang lain yang deketin gua.

“Ada, tapi malesin banget bocahnya. Jadi aku cuekin gitu.”

“Ih Kaisar, kenapa dicuekin? Emang dia jahat? Udah berapa lama deketinnya dia?”

“Ngga sih, cuma aku masih risih, Yah. Kayaknya sih udah 2 bulan an deketinnya.”

“Kaisar, ngga boleh gitu. Namanya ada orang yang berbaik hati ke kamu ya jangan dicuekin gitu. Ini bukannya Ayah nyuruh kamu suka sama dia ya, tapi hargain aja lah, jangan di cuekin apalagi udah berbulan-bulan itu ih, kasian anak orang. Itu namanya sombong, Nak.”

“Iya iya, Kaisar usahain dulu.”

“Beneran lho ya? Jangan sombong, Nak.”

“Iyaaaa Ayahhhh.”

Setelah itu hening lagi selama beberapa menit, tapi kali ini agak lama. Sampe gua hafal bunyi angin AC gua yang hembusannya gede banget itu.

You can love someone and still choose to say goodbye to them. You can miss a person everyday and still be glad that they're no longer in your life, Sar. Itu kalo kata Tara Westover hahahah.”

Gua langsung diam seribu bahasa dan kata-kata itu terus terngiang-ngiang di kepala gua.

“Eh udah jam 11 ternyata. Kalo gitu kamu tidur aja ya, Dek. Jajannya Ayah taruh di kulkas aja, tapi besok jangan lupa dimakan ya,” ujarnya sambil benerin selimut, sedangkan di waktu yang sama gua ngga denger kata-kata Ayah tadi, gua malah masih kepikiran sama quotes tadi.

Good night, Kaisar, anak Ayah yang paling kereeeen se-jagat raya!” terus kening gua di kecup.

“Makasih banyak ya, Ayah. Kaisar bersyukur banget bisa punya Ayah kayak Ayah Baskara yang paling keren se-dunia, ngga ada yang bisa ngalahin kerennya hehe. Good night, Yah.”

Setelah Ayah keluar kamar, gua langsung ambil handphone dan buka aplikasi Notes buat nulis quotes yang tadi Ayah bilang.

”You can love someone and still choose to say goodbye to them. You can miss a person everyday and still be glad that they're no longer in your life.”

Abis itu gua taruh kembali handphone nya dan kembali menutup mata alias tidur.

Kaisar's pov


Detik, menit, jam berlalu. Udah sekitar 3 bulan-an semenjak gua ngetweet tentang Saddam sambil bertanya-tanya apakah kita masi ada kesempatan buat kontak an lagi dan sementara ini jawabannya nggak. Karena buktinya sampe sekarang pun dia belom samsek ngechat gua lagi. Ya bukannya gua berharap ke dia apa gimana, tapi gua ngerasa kayak digantung karena mau dikasih sesuatu buat ditunggu yaitu cerita-ceritanya dia yang belom tersampaikan ke gua. Serius dah anjing gua kepo banget, Saddam kira-kira mau ngomong apaan dah?....

Oh iya, kapan itu Halim pernah cerita ke gua kalo sebenernya Saddam sebelum pacaran sama Aca ternyata pernah deketin cowo lain, dan se-pengetahuan Halim—Saddam nya juga udah kayak ngasih harapan ke si cowok itu soalnya katanya sih Saddam pernah bilang “Tunggu ya.” gitu dah. Dan gua juga barusan tau kalo rumornya sih si cowok itu pernah sempet berharap dikit sama Saddam karena dia pernah nyepik dikit gitu dah istilahnya tapi mungkin ditanggepin lebih sama si cowok itu padahal Saddam ga bermaksud gitu dan itu terjadi sewaktu gua masih pacaran sama dia. Dan gatau gimana ceritanya, si cowok itu masih berharap sama Saddam setelah gua putus sama dia—tapi takdir berkata lain alias ternyata Saddam akhirnya jadian sama Aca dan itu akhirnya menimbulkan pernah ada peperangan di twitter mereka berdua, ya kayak sindir-sindiran gitu dah.

Pas baru denger cerita itu gua bener-bener cengo karena gua baru tau ternyata se-buaya itu anjrit si Saddam? Tapi gobloknya gua juga masih cinta sih.

Gakdeng. Gatau gua juga bingung sebenernya gua beneran gamon apa cuma kangen kenangan masa lalu kita berdua aja.

Gajetot anying.

Pusing gua.

Kaisar's pov


Setelah ngetik balesan terakhir buat Saddam, gua bener-bener langsung keluar rumah buat mastiin kalo ni anak beneran lagi di deket rumah gua atau nggak.

Tapi sebelum keluar rumah, gua mau mastiin penampilan dulu di depan kaca sambil semprot-semprot parfum dikit lah ya. Ya namanya juga udah lama ngga ketemu mantan apalagi secara mendadak gini, gua harus mastiin kalo penampilan gua ngga kayak gembel.

Sebenernya dari Saddam ngechat gua tiba-tiba tuh udah bikin jantung gua ngga karuan, ditambah lagi doi bilang lagi di deket rumah gua—rasanya kayak mimpi tau ngga sih? Ya gua ngerasa kalo kita ngga bakal bisa se-gampang itu buat ketemuan karena keadaan yang udah ngga mendukung dan memungkinkan, terutama ya karena Saddam udah punya pacar baru.

Pas gua udah keluar rumah dan ngecek di samping gang, ternyata beneran ada Saddam lagi nangkring di atas vespa warna hitam—motor kesayangannya dari jaman SMA yang biasanya bawa kita berdua keliling Jakarta dan sekitarnya.

Jantung gua udah beneran ngga karuan karena udah lama ngga ketemuan sama dia secara face to face selama beberapa bulan. Gua juga bingung nanti mau ngomongin apaan ya anjing?! Gua takut banget nanti bakal canggung.

Tapi di sisi lain gua juga excited karena rasa kangen gua terbayarkan setelah ngeliat wajahnya dia secara langsung.

Tanpa ba bi bu, dengan keberanian gua yang ngga terlalu besar itu—gua langsung sedikit lari ke arah tempat dia berada.

Singkat cerita, selama beberapa menit ketemuan itu kita omong-omongan biasa, dan sedikit mengenang masa lalu....

Tapi keliatan banget selama kita omong-omongan itu, kita berdua kayak bahagia banget. Bahkan gua juga ngerasa ngga ada perbedaan yang spesifik dari cara kita berdua berkomunikasi satu sama lain sewaktu pacaran dan setelah putus. Positive thinking aja, gua mikirnya emang karena Saddam anaknya social butterfly banget, dia selalu ramah ke semua orang. Tapi gua juga ngerasa mungkin rasa bahagia kita berdua selama omong-omongan itu hanya karena kita cuma rindu dengan kehadiran satu sama lain, rindu dengan kenangan masa lalu, dan rindu dengan kebiasaan yang biasa kita lakuin selama pacaran.

Di tengah-tengah bercandaan kita, dengan sangat canggung gua dengan tiba-tiba nanya ke dia, “..Eh cewekmu ngga marah apa kalo dia tau kamu ketemuan sama aku?” dan dia jawab dengan raut wajah yang awalnya senyum lebar karena bercandaan tadi, tiba tiba berubah jadi raut wajah yang ngga kalah canggungnya dengan punya gua, “Ngga kok, dia udah ngerti soalnya dia juga nanya ke rumah Kaisar apa engga, ya aku jujur donggg, jadi aku jawab iyaa.”

Setelah denger jawabannya, gua ngangguk-ngangguk dan kebingungan lagi mau ngomongin apaan karena barusan aja gua membawa topik yang agak sensitif untuk dibicarakan di antara kita berdua.

Tapi untungnya di saat yang tepat, tiba tiba handphone gua geter karena ada telepon dari Ayah.

Ternyata Ayah nyariin gua karena tiba-tiba rumah kosong dan dia nyuruh gua pulang.

Setelah menutup teleponnya, dengan sangat berat hati gua pamit ke Saddam, dan setelah sekian lama juga gua ngga nyentuh tangannya—akhirnya gua nyentuh tangan Saddam karena kita habis tos pelan. Padahal kalo sebelum putus, kita punya tos ala-ala, jadi pertama ngaitin kelingking, terus jari telunjuk, dan yang terakhir nempelin jempol hahahahah. Tapi saking lamanya kita ngga ketemuan, gua aja udah lupa kapan terakhir kali kita tos begituan.

Setelah itu gua jalan ngejauh dan noleh-noleh dikit ke dia dan ternyata dia masih ngeliatin gua sambil senyum lebar sampe kedua matanya melengkung ngebentuk bulan sabit.

Pas udah nyampe rumah, gua masih bisa ngerasain euforia nya. But at the same time, gua juga benci karena gua jadi ngerasa kosong lagi dan gua ngerasa itu tadi adalah bener-bener terakhir kalinya gua bisa se-deket itu sama Saddam.

Jadi, ngga akan ada lagi Saddam dan Kaisar yang kayak gitu.

People change, right?

Riuh ramainya gedung DBL yang suaranya berasal dari sorakan para penonton match DBL hari pertama, atau lebih khususnya sorakan tersebut berasal dari suara para siswa dan siswi yang sedang menyanyikan chant kebanggaan milik sekolah mereka masing-masing untuk menyemangati teman-temannya yang sedang tanding, dan juga mayoritas dari mereka ada yang sampai berteriak karena semangatnya yang sangat berapi-api.

Kedua capo yang sedang berdiri di atas tribun paling depan juga tak kalah semangatnya dari teman-temannya, yang pada akhirnya membuat semua mata tertuju pada kedua capo tersebut yang sedang memimpin teman-temannya untuk jalannya nyanyian chant sambil berjoget sesuai tempo.

Tak lupa juga setelah itu para suporter mengangkat koreo yang bertuliskan #KitaSatu, yang merupakan hasil kerja keras dari para pengurus koordinator suporter SMAN Neo 1.

Semua mata memang tertuju pada kedua capo itu, tetapi berbeda dengan Farell Raksadipa Hanarko si ketua koor itu yang sedang penuh dengan konsentrasi memandu teman-temannya. Ia juga sedang sambil menelisik satu per satu wajah-wajah yang berada di tribun Neo 1 untuk mencari keberadaan sang pujaan hatinya.

Setelah sekitar 1 menit berlalu, dan akhirnya ketemu.

Ternyata seseorang yang sedang dicarinya sejak awal mula match berlangsung tadi sedang berada di tribun bagian pojok kiri dan di barisan tengah.

Sudah Farell duga sejak awal jika lelaki yang ia cari dari tadi sedang berada di tribun yang sedikit jauh dari keberadaannya, karena memang terlalu berisik untuk berada di tribun dekat capo, dan Abid memang tidak suka berada di tribun dekat capo karena pasti kekasihnya itu akan mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk menggodanya.

Dan benar saja.

Abid yang jangkauannya masih terhitung jauh dari tribun capo, Farell masih sempat saja menyapa dan menggodanya dengan mengedipkan matanya sambil tersenyum lebar.

Kedua pipinya memperlihatkan semburat berwarna merah tomat, menandakan kalau lelaki itu salah tingkah. Dan yang di waktu yang bersamaan ia juga membatin dalam hati, ”Pacar gue kambuh, anying…”


Usai pertandingan DBL tadi, anak-anak Neo 1 menyebar kesana dan kemari—entah itu mereka menunggu jemputannya untuk langsung pulang, atau tipikal anak-anak seusai nribun pada umumnya, yaitu nongkrong di cafe sekitar DBL.

“Halo, Yaaah. Jemput aku sekarang bisa nggak?”

“Halo, Dek. Kamu dimana?”

“DBL, Ayaaah. Kan tadi aku udah bilaang ih,”

“Ooh, tapi ini Ayah belom siap-siap, jadi kamu nunggu agak lama gapapa ya?”

“Yaudah, jangan lama-lama banget tapi.”

“Hati-hati, Ayah.”

“Iya, Dek.”

tuuut.

Abid menghela nafas panjang sambil melihat jam tangan yang menempel di tangan kirinya dan jam nya menunjukkan pukul 17.44 WIB.

“Tandingnya selesai udah dari 30 menit yang lalu, jadi ngga mungkin kalo Farell udah selesai eval nya,” batinnya dalam hati.


Sudah 1 setengah jam berlalu, tetapi Ayah Abid juga belum terlihat batang hidungnya. Katanya saat di telepon tadi, lelaki yang bernama Bastian itu sedang terjebak macet karena efek malam minggu, membuat orang-orang pergi keluar rumah untuk jalan-jalan.

Karena merasa bosan, akhirnya Abid berjalan menuju Starbucks sebelah gedung DBL untuk membeli minuman kopi kesukaannya.

Tetapi, di tengah-tengah perjalanannya, Abid menangkap sesuatu dengan kedua matanya, yaitu terlihat Farell sedang membonceng lelaki yang juga memakai kaos suporter Neo 1.

“Hah…. itu siapa dah?”

Daripada memikirkan yang tidak-tidak, lelaki Agustus itu lebih memilih untuk menghiraukan pikiran kacaunya itu dan bergegas menuju Starbucks.

Waktu terus bergulir, dan para koordinator suporter Neo 1 pun masih sibuk berkutik dengan persiapan mereka untuk event DBL yang akan datang nanti.

Mereka sibuk tidak hanya pada saat pulang sekolah, tetapi sekarang pukul 12.09 WIB yang merupakan waktu untuk istirahat kedua pun mereka masih juga sibuk keliling kelas untuk memberikan pengumuman mengenai event tersebut.

“Jadi, hari Sabtu ini bakal ada match basket sekolah kita lawan SMA 61, tempatnya di DBL kayak biasanya, jam setengah 4 sore udah mulai matchnya. Sekitar jam setengah 3 udah bisa ngumpul ya, jangan ngaret juga soalnya ini kan kita sekalian opening DBL, jadi pasti bakal rameeee banget,” ucap sang ketua koor panjang lebar di depan kelas 11 IPS 1.

“Jangan lupa ramein ya guys, kan ini sekalian opening DBL yakaaali kaga rame cuy.” tambah Malik yang juga tak kalah semangatnya.

“Ntar yang ramein opening DBL, pulangnya ditraktir Malik, guys.” Icang yang dari tadi hanya diam di belakang ikut menimbrung sambil tertawa jahil dan seisi kelas ikut tertawa juga.

Baru saja Malik ingin menendang pantat Icang tetapi si lawannya sudah kabur keluar kelas.

“Sekelas ini 36 orang kan ya? Minimal yang ikut besok 20 orang ya. Karena kita udah nyiapin koreo yang gede, jadi kan sayang kalo udah bikin tapi ternyata yang dateng eh malah dikit, ya akhirnya ngga kepake kan. Ini-” ucapan Farell terpotong karena ponselnya tiba-tiba berdering keras, menunjukkan bahwa seseorang ada yang meneleponnya.

“Eh bentar,” Farell menghadap ke belakang dan mengambil ponselnya dari saku celana. Dan ternyata yang menelepon itu kekasihnya.

Dengan cepat ia mematikan dering teleponnya dan kembali menyimpan benda pipih tersebut.

“Oke lanjut. Jadi ini kan koor kelasnya Malik sama Adit, kalo besok sabtu ada yang berhalangan hadir izin ke mereka ya. Dengan syarat halangannya yang masuk akal ya, jangan yang aneh-aneh.”

“Ada yang mau nambahin lagi ga?” tanya Farell kepada teman-teman pengurus koordinator supporternya, dan dibalas gelengan oleh mereka.

“Yaudah gaada tambahan lagi. Kalo ada yang mau nanya-nanya lagi, chat aja koor kelasnya atau salah satu dari kita juga boleh, masih banyak yang jomblo nih anak-anak gue,” ucapnya penuh kejahilan, dan diikuti oleh tawa seisi kelas. “Gak deng, canda. Udah kalo gitu, sekian dari kami. Mohon maaf jika ada salah kata dan terima kasih atas perhatiannya.”

Karena kebetulan tadi adalah kelas terakhir yang mereka kunjungi, jadi Farell segera menelpon kekasihnya.

“Halo, ay. Maaf tadi aku ga angkat telponnya soalnya lagi keliling kelas.”

“Oh iya. Gapapa, Rell.”

“Kamu dimana? Aku susul ya.”

“Iyaa sini susul aja, aku di kantin.”

“Oke sayang.”

Setelah mematikan teleponnya, ia dengan segera bergegas menuju kantin.


“Kenyang banget, Rell. Tapi masih pengen minum susu ih.”

“Biasanya kamu bakal masih kuat minum susu kalo lagi kenyang, ay. Minum aja gapapa.”

“Ih! Ntar kalo muntah gimana?!” Abid mencubit lengan Farell.

Farell mengedipkan sebelah matanya dengan genit. “Aman, ada aku, ay.”

“Ngaco lu, Hanarko.”

“Ih tapi kamu pernah muntah di sekolah kan, ay. Kelas 10 gak sih?”

“Hahah iya anjrit. Itu rasanya ngga enak banget anjing. Kek tiba-tiba perut aku isinya lagi bergoyang-goyang gitu. Mana pas itu kan kelas aku deket banget sama toilet tapi kek saking ngga kuatnya ke toilet, sampe muntah di depan kelas. Ih, ngga lagi dah aku muntah di luar rumah.” Abid yang sedang di tengah-tengah menghabiskan makanannya, akhirnya bercerita panjang lebar dengan sangat ekspresif, sampai-sampai ia tidak sadar kalau si lawan bicaranya dari tadi hanya menatapnya lekat-lekat. Kalau kata orang-orang pada umumnya sih, itu tatapan penuh cinta.

“Gemes banget sih.” Farell menata rambut kekasihnya yang sedikit berantakan itu.

“Kamu dengerin cerita aku gak sih?!”

“Iya dengerin, sayangku.”

Usai menata rambut Abid yang berantakan, tangannya ia gunakan untuk mengelus-elus pucuk kepala kekasihnya yang sedang melahap ayam goreng. “Jangan sakit lagi yaaa, sayangku, cintaku, kasihku, Abidku. Dijaga kesehatannya, jangan sering makan makanan pedes. Sehat terus, biar bisa nemenin Farell terus juga.” Farell meniup pelan kepala Abid.

“Kenapa tuh pake nyebul-nyebul segala?”

“Kan aku barusan do'a, sayang. Biasanya Papa kalo doain aku suka sambil nyebul kepalaku gitu.”

“Oooh tadi do'a. Heheheheheheh.” Abid menggigit lengan kekasihnya.

“Anjrit sakit ah, Abid. Kalo salting mah cium aja napa sih.”

“Ngomong ama pantat gue.”

“Mau sini.”

“JOROK ANJIIING, RELL.”

“EH HUS! Mulut lu kenceng banget, anjrit.”

“LAGIAN LU SIH AH.”

“IYA MAAF ITU BERCANDA SAYANG.”

Di waktu yang bersamaan, ponsel Abid berdering. Dan ternyata itu Kiki yang menelepon untuk mengajaknya segera ke kelas karena teman kelasnya sedang menonton film bersama.

“Kelasku lagi nobar Midsommar, Rell.”

“Ih aku ikut.”

“Lah kamu jamkos?”

“Iyaaa. Bu Yuni lagi sakit.”

“Yaudah, ayo ke atas sekarang. Udah mulai nonton mereka.” Abid berancang-ancang untuk segera pergi dari kantin, tangannya memegang piring bekas makan tadi.

“Susunya jadi beli ngga, ay?”

“Oiyaaaaaaa jadiii, heheeeeee.”

“Kinying bingit, Rill. Tipi misih pingin minim sisi ih.” ledek Farell.

“Dieeemm gaak?!”

CW // Kissing


Suara gaduh yang berasal dari langkah kaki Abid terdengar di seluruh sudut rumah, dan itu menandakan bahwa lelaki itu sedang terburu-buru karena kekasihnya sudah menunggunya di ruang tamu sejak 10 menit yang lalu.

“Ay, jalannya pelan-pelan aja kenapa sih, orang aku ga bakal kemana-mana juga,” ucap Farell yang sedang ingin minum teh buatan Aulia, atau Mamah Abid, tetapi terhenti karena melihat tingkah laku Abid barusan.

Abid tak mendengarkan perintah kekasihnya itu, ia tetap berlari dengan heboh menuju sofa ruang tamu dan duduk di sebelahnya. “Hehehe kangen si gemeskuuu,” Abid menyubit kedua pipi Farell sambil memanyunkan bibirnya dan yang dicubit hanya diam saja karena sudah pasrah dan terbiasa dengan kelakuan aneh kekasihnya ini yang tiba-tiba.

“Hmmm, aku disini padahal.”

“Yaa tetep kangen, gatau kenapa.”

Btw, Mamah kemana? Kok tumben gaada suaranya.”

“Barusan aja pergi. Katanya mau senam.”

“Oh iya ya.”

“Yaudah ayo berangkaat, keburu makin panas.” Farell hendak untuk beranjak dari sofa tetapi Abid menahan badannya. “Kamu pasti belom pake sunscreen kan? Aku pakein dulu abistu kita berangkat!”

“Hah? Gausah gapapa, ay.”

“Nurut aku, ih!” Abid segera berlari menuju kamarnya untuk mengambil sunscreennya.

Usai kembali dari kamarnya, lelaki manis itu dengan segera duduk di sofa dan mengeluarkan cairan dari botol sunscreen dan mengoleskan dengan rata di wajah lelaki yang tengah berada di hadapannya.

“Kamu tuh jangan suka gampangin masalah ginian, Rell. Kalo dari umur segini kamu ngga rajin pake sunscreen tuh efeknya bakal keluar pas kamu tua nanti, percaya aku deh,” ucap Abid panjang lebar sambil meratakan sunscreennya di wajah Farell dengan pelan. Sedangkan Farell hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis melihat tingkah laku kekasihnya.

Baginya, ia sangat beruntung mempunyai kekasih yang perhatian dengannya entah itu dari hal-hal yang sangat kecil hingga besar.

Moreover, those little things that always makes Farell fall deeper and deeper with his boyfriend.

“Udah!”

“Rasanya agak seger gitu dah, ay.”

“Hahah ini bahan dasarnya dari air, jadi yaa emang bisa bikin seger gitu deh.”

Farell membaca bahan-bahan yang tertulis di botol sunscreennya. “Keren. Kalo yang bahan dasarnya dari susu gitu ada ga, ay?”

“Maksud lu?” Abid melotot.

“Kan kamu suka susu, jadi siapa tau ada yang bikin bahan dasarnya dari susu gitu deh, ay. Nanti biar aku beliin.”

“Ya aku suka susu mah ga sampe dipake buat sunscreen juga lah anjrit? Lagian di dunia ini siapa yang mau bikin sunscreen bahan dasarnya dari susu??” Abid menyubit lengan lelaki di sebelahnya.

“Ih di dunia ini mah ga ada yang ga mungkin, ay.”

“Contohnya?”

“Aku nikah sama kamu?”

“Apaaansiiiih?”

Raut wajah Farell mendadak terlihat sedikit sedih. “Ih kamu ngga mau nikah sama aku, Bid?”

“Ish, lagian lu ngomongin nikah-nikah jam 10 pagi gini apaan dah?” Abid menyubit pelan perut Farell beberapa kali, padahal, sebenarnya dalam hatinya itu ia sudah ingin membenturkan kepalanya berkali-kali ke dinding karena salah tingkah.

“Terus kamu maunya ngomongin kapan, Bid?” Farell menggenggam dan mengelus telapak tangan kekasihnya, namun yang digenggam langsung melepasnya dan menjewer telinga Farell.

“Aaaahhh anjrittt, Bid. Tenaga kamu tuh gedeee, jangan main fisik napa sih,” Farell meringis kesakitan.

“Ih, beneran sakit apa?”

“Tauk,” ucap Farell cuek.

“Eh, maaf sayaaang,” Abid mengelus telinga Farell yang kesakitan tetapi dengan segera tangan si manis ditepis. “Fareelll, jangan ngambek ih. Beneran tadi niatnya ga sampe sakit gitu, ay.”

“Ya ditebus dong kesalahannya, jangan malah nyerah gitu abis aku tepis.” Farell menatap Abid sinis.

“Dih, tadi aku elusin telinganya gamau, terus harus diapain dong?”

“Cium,” ucap Farell masih cuek.

“Emang anjrit banget dah, gue tau ini Farell ga mungkin ngambek masalah ginian doang. Pasti memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, tapi kalo ditolak malah makin lebar masalahnya ama monyet satu ini.” batin Abid setelah mendengar kalimat terakhir si lelaki April.

Tanpa berpikir panjang lagi, Abid pun langsung memajukan bibirnya untuk mencium telinga Farell.

cup!

“Langsung sembuh tuh, hehe.” Abid menyengir.

“Kurang. Harus 3 kali,” ucap Farell yang masih dengan nada cuek.

cup!

cup!

Untuk yang kedua, bibir Abid memang masih mengecup telinga Farell. Tetapi entah setan datang darimana—muncul secara tiba-tiba untuk membisikkan sebuah ide di telinga Farell untuk menolehkan wajahnya agar bibir milik kekasihnya mendarat persis di bibirnya. Dan akhirnya, kecupan yang ketiga kalinya, bibir Abid mendarat di bibir milik kekasihnya, bukan telinganya.

Tiba-tiba tensi di antara mereka berdua berubah menjadi sedikit tegang, dari yang sebelumnya hanya saling bergurau—apalagi tatapan Farell yang berubah menjadi sedikit sayu dan ia tiada hentinya menatap kedua bola mata lelaki manis yang lahir di bulan Agustus itu sambil mengelus kedua pipinya.

“Hehe... Bid, maaf tadi ngga minta izin dulu... but, may I kiss those pretty lips right now, babe?” ucap Farell dengan suara pelan, dan si lawan bicara hanya bisa menahan-nahan untuk tidak kabur karena perlakuan pemuda itu yang tiba-tiba membuat jantungnya berdetak sangat kencang. Namun, akhirnya Abid pun menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

Dengan inisiatif, Farell langsung memajukan wajahnya perlahan kedepan, dan setelah terasa ujung hidung mereka saling bersentuhan, dengan inisiatif lagi tangan Farell memegang tengkuk si manis dan mengecup bibirnya.

Awalnya hanya kecupan beberapa kali, tetapi setelah saling menyesuaikan posisi, kedua anak adam tersebut saling melumat bibir satu sama lain.

Setelah dirasa makin dalam ciuman mereka, secara naluri tangan Abid dengan nyamannya mulai melingkar di leher kekasihnya dan sedikit menjambak rambutnya karena secara tiba-tiba Farell menggigit pelan bawah bibirnya.

Tanpa disadari, ciuman mereka berlangsung selama beberapa menit, dan akhirnya terhenti karena Abid yang kehabisan nafas lebih dulu.

“Hehe, manis.” bisiknya penuh kejahilan sambil mengusap pelan bibir Abid dan menatapnya secara lekat-lekat.

Setelah selang beberapa detik, kali ini Abid yang berinisiatif memajukan bibirnya untuk menyium bibir seorang Farell Raksadipa Hanarko, bibir yang selalu menjadi candu baginya itu.

Setelah semakin lama dan semakin nyaman, Abid mendudukkan dirinya di atas kedua paha milik kekasihnya. Meskipun suasana semakin panas, tetapi di antara keduanya tidak ada yang berani untuk melanjutkan hal yang lebih intim—karena mereka berdua masih sadar akan umur mereka yang terhitung masih remaja itu dan belum pantas untuk melakukan hal tersebut.

“Mmmh,” terdengar pelan lenguhan Abid yang menandakan bahwa nafasnya sudah mulai habis lagi.

Farell menyengir sambil menatap kedua bola mata dan bibir milik lelaki kesayangannya secara bergantian. “I love you, babe.

I love you more, hehe.” Abid terlalu malu untuk sekedar memanggil lelaki itu dengan panggilan 'babe' setelah kejadian ciuman mereka barusan.

Nah, I love you much much much much more.” Farell menggeleng ribut sambil memanyunkan bibirnya.

Okays, I'll let you win this time.

Even after they were over with their kissing agenda, but they can still feel those flying butterflies around inside their tummy...

“Aih si gemes. Let me carry you.” Dengan secepat kilat Farell mendudukkan Abid di sebelahnya, yang tadi sedang ia pangku, dan langsung berjongkok dan memunggungi si manis untuk memberikan gendongan.

“Mauuu kemana kita hari iniii?” Secara otomatis, ia memeluk punggung di hadapannya sambil melingkarkan tangannya di leher kekasihnya, dan tak lupa juga kakinya melingkar di pinggang agar tidak jatuh nanti.

Farell berdiri sambil menggendong Abid yang sedang menempel di punggungnya. “Harii inii kitaaaa mauu makann!” ucap Farell penuh gembira sambil berjalan menuju keluar rumah.

Yayyy! Mari menggendut bersamaa!” keduanya pun tertawa lepas.