“Bid, liat nomer 4 lo gimana,”

Tangan kanan lelaki manis yang sedang menari-nari diatas buku tulisnya terhenti sejenak dan beralih ia gunakan untuk menggeser buku tersebut.

“Gue foto aja dah, biar lo cepet selesai.”

Enggan untuk berbicara, sebagai gantinya pemuda itu hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

“Bakso yang anak-anak kemaren bilang enak itu judulnya apa ya, Ki?”

“Dih apaan judul bakso anying hahahah.”

“Eh namanyaaa hahah.”

“Gue lupa nama restonya, pokoknya keluar gerbang sekolah ini lo tinggal luuuurus ampe notok terus belok kanan nah terus nanti keliatan Es Teh, nah di sebelahnya pas,” ujar Kiki panjang lebar sembari menulis. Mereka berdua mengabaikan Bu Yuni selaku guru mata pelajaran Kimia yang di depan sana sedang berceramah tentang menantu dan cucunya yang baru saja lahir.

“Oh, deket banget berarti.”

“Lo mau kesana sama Farell?”

“Yoi.”

“Ati-ati jangan ampe salah naik motor lo,” ucap Kiki dengan nada mengejek yang mengundang sang lawan bicara untuk menoyor kepalanya.

“Emang anjing luuuu.”


“Ayeee,” sapa Farell kepada kekasihnya di telepon.

“Lama bangeeet, Fareeelll. Kamu dimana?”

“Eh, iya maaf ya, aku abis cek motor ternyata ga mau nyala dan barusan aja aku taruh di bengkel. Kamu gausah ikut aku, tunggu di lobby dalem aja ya, ay?”

“Hah kok bisaa?”

“Gak tau sumpah. Kamu tunggu di dalem aja, jangan kemana-mana.” ucap lelaki April itu yang terdengar sedikit panik.

“Ah, aku nyusul aja. Lagian ngapain nunggu di sekolah, temen-temen aku udah pulang,”

“Ay, nurut aku. Tunggu aja di lobby ya?”

”Hhhhh, tapi jadi kan jalan-jalannya?” dari seberang sana terdengar helaan nafas Abid yang berat.

“Iya, sayang.”

”Yaudah, ati-ati yaa.”

“Yaaa, jangan kemana-mana.” usai menutup teleponnya, kedua mata lelaki yang memiliki jabatan sebagai ketua koor itu kembali memicingkan kepada pemuda yang sedang berada di seberangnya.