Waktu terus bergulir, dan para koordinator suporter Neo 1 pun masih sibuk berkutik dengan persiapan mereka untuk event DBL yang akan datang nanti.
Mereka sibuk tidak hanya pada saat pulang sekolah, tetapi sekarang pukul 12.09 WIB yang merupakan waktu untuk istirahat kedua pun mereka masih juga sibuk keliling kelas untuk memberikan pengumuman mengenai event tersebut.
“Jadi, hari Sabtu ini bakal ada match basket sekolah kita lawan SMA 61, tempatnya di DBL kayak biasanya, jam setengah 4 sore udah mulai matchnya. Sekitar jam setengah 3 udah bisa ngumpul ya, jangan ngaret juga soalnya ini kan kita sekalian opening DBL, jadi pasti bakal rameeee banget,” ucap sang ketua koor panjang lebar di depan kelas 11 IPS 1.
“Jangan lupa ramein ya guys, kan ini sekalian opening DBL yakaaali kaga rame cuy.” tambah Malik yang juga tak kalah semangatnya.
“Ntar yang ramein opening DBL, pulangnya ditraktir Malik, guys.” Icang yang dari tadi hanya diam di belakang ikut menimbrung sambil tertawa jahil dan seisi kelas ikut tertawa juga.
Baru saja Malik ingin menendang pantat Icang tetapi si lawannya sudah kabur keluar kelas.
“Sekelas ini 36 orang kan ya? Minimal yang ikut besok 20 orang ya. Karena kita udah nyiapin koreo yang gede, jadi kan sayang kalo udah bikin tapi ternyata yang dateng eh malah dikit, ya akhirnya ngga kepake kan. Ini-” ucapan Farell terpotong karena ponselnya tiba-tiba berdering keras, menunjukkan bahwa seseorang ada yang meneleponnya.
“Eh bentar,” Farell menghadap ke belakang dan mengambil ponselnya dari saku celana. Dan ternyata yang menelepon itu kekasihnya.
Dengan cepat ia mematikan dering teleponnya dan kembali menyimpan benda pipih tersebut.
“Oke lanjut. Jadi ini kan koor kelasnya Malik sama Adit, kalo besok sabtu ada yang berhalangan hadir izin ke mereka ya. Dengan syarat halangannya yang masuk akal ya, jangan yang aneh-aneh.”
“Ada yang mau nambahin lagi ga?” tanya Farell kepada teman-teman pengurus koordinator supporternya, dan dibalas gelengan oleh mereka.
“Yaudah gaada tambahan lagi. Kalo ada yang mau nanya-nanya lagi, chat aja koor kelasnya atau salah satu dari kita juga boleh, masih banyak yang jomblo nih anak-anak gue,” ucapnya penuh kejahilan, dan diikuti oleh tawa seisi kelas. “Gak deng, canda. Udah kalo gitu, sekian dari kami. Mohon maaf jika ada salah kata dan terima kasih atas perhatiannya.”
Karena kebetulan tadi adalah kelas terakhir yang mereka kunjungi, jadi Farell segera menelpon kekasihnya.
“Halo, ay. Maaf tadi aku ga angkat telponnya soalnya lagi keliling kelas.”
“Oh iya. Gapapa, Rell.”
“Kamu dimana? Aku susul ya.”
“Iyaa sini susul aja, aku di kantin.”
“Oke sayang.”
Setelah mematikan teleponnya, ia dengan segera bergegas menuju kantin.
“Kenyang banget, Rell. Tapi masih pengen minum susu ih.”
“Biasanya kamu bakal masih kuat minum susu kalo lagi kenyang, ay. Minum aja gapapa.”
“Ih! Ntar kalo muntah gimana?!” Abid mencubit lengan Farell.
Farell mengedipkan sebelah matanya dengan genit. “Aman, ada aku, ay.”
“Ngaco lu, Hanarko.”
“Ih tapi kamu pernah muntah di sekolah kan, ay. Kelas 10 gak sih?”
“Hahah iya anjrit. Itu rasanya ngga enak banget anjing. Kek tiba-tiba perut aku isinya lagi bergoyang-goyang gitu. Mana pas itu kan kelas aku deket banget sama toilet tapi kek saking ngga kuatnya ke toilet, sampe muntah di depan kelas. Ih, ngga lagi dah aku muntah di luar rumah.” Abid yang sedang di tengah-tengah menghabiskan makanannya, akhirnya bercerita panjang lebar dengan sangat ekspresif, sampai-sampai ia tidak sadar kalau si lawan bicaranya dari tadi hanya menatapnya lekat-lekat. Kalau kata orang-orang pada umumnya sih, itu tatapan penuh cinta.
“Gemes banget sih.” Farell menata rambut kekasihnya yang sedikit berantakan itu.
“Kamu dengerin cerita aku gak sih?!”
“Iya dengerin, sayangku.”
Usai menata rambut Abid yang berantakan, tangannya ia gunakan untuk mengelus-elus pucuk kepala kekasihnya yang sedang melahap ayam goreng. “Jangan sakit lagi yaaa, sayangku, cintaku, kasihku, Abidku. Dijaga kesehatannya, jangan sering makan makanan pedes. Sehat terus, biar bisa nemenin Farell terus juga.” Farell meniup pelan kepala Abid.
“Kenapa tuh pake nyebul-nyebul segala?”
“Kan aku barusan do'a, sayang. Biasanya Papa kalo doain aku suka sambil nyebul kepalaku gitu.”
“Oooh tadi do'a. Heheheheheheh.” Abid menggigit lengan kekasihnya.
“Anjrit sakit ah, Abid. Kalo salting mah cium aja napa sih.”
“Ngomong ama pantat gue.”
“Mau sini.”
“JOROK ANJIIING, RELL.”
“EH HUS! Mulut lu kenceng banget, anjrit.”
“LAGIAN LU SIH AH.”
“IYA MAAF ITU BERCANDA SAYANG.”
Di waktu yang bersamaan, ponsel Abid berdering. Dan ternyata itu Kiki yang menelepon untuk mengajaknya segera ke kelas karena teman kelasnya sedang menonton film bersama.
“Kelasku lagi nobar Midsommar, Rell.”
“Ih aku ikut.”
“Lah kamu jamkos?”
“Iyaaa. Bu Yuni lagi sakit.”
“Yaudah, ayo ke atas sekarang. Udah mulai nonton mereka.” Abid berancang-ancang untuk segera pergi dari kantin, tangannya memegang piring bekas makan tadi.
“Susunya jadi beli ngga, ay?”
“Oiyaaaaaaa jadiii, heheeeeee.”
“Kinying bingit, Rill. Tipi misih pingin minim sisi ih.” ledek Farell.
“Dieeemm gaak?!”