CW // Kissing
Suara gaduh yang berasal dari langkah kaki Abid terdengar di seluruh sudut rumah, dan itu menandakan bahwa lelaki itu sedang terburu-buru karena kekasihnya sudah menunggunya di ruang tamu sejak 10 menit yang lalu.
“Ay, jalannya pelan-pelan aja kenapa sih, orang aku ga bakal kemana-mana juga,” ucap Farell yang sedang ingin minum teh buatan Aulia, atau Mamah Abid, tetapi terhenti karena melihat tingkah laku Abid barusan.
Abid tak mendengarkan perintah kekasihnya itu, ia tetap berlari dengan heboh menuju sofa ruang tamu dan duduk di sebelahnya. “Hehehe kangen si gemeskuuu,” Abid menyubit kedua pipi Farell sambil memanyunkan bibirnya dan yang dicubit hanya diam saja karena sudah pasrah dan terbiasa dengan kelakuan aneh kekasihnya ini yang tiba-tiba.
“Hmmm, aku disini padahal.”
“Yaa tetep kangen, gatau kenapa.”
“Btw, Mamah kemana? Kok tumben gaada suaranya.”
“Barusan aja pergi. Katanya mau senam.”
“Oh iya ya.”
“Yaudah ayo berangkaat, keburu makin panas.” Farell hendak untuk beranjak dari sofa tetapi Abid menahan badannya. “Kamu pasti belom pake sunscreen kan? Aku pakein dulu abistu kita berangkat!”
“Hah? Gausah gapapa, ay.”
“Nurut aku, ih!” Abid segera berlari menuju kamarnya untuk mengambil sunscreennya.
Usai kembali dari kamarnya, lelaki manis itu dengan segera duduk di sofa dan mengeluarkan cairan dari botol sunscreen dan mengoleskan dengan rata di wajah lelaki yang tengah berada di hadapannya.
“Kamu tuh jangan suka gampangin masalah ginian, Rell. Kalo dari umur segini kamu ngga rajin pake sunscreen tuh efeknya bakal keluar pas kamu tua nanti, percaya aku deh,” ucap Abid panjang lebar sambil meratakan sunscreennya di wajah Farell dengan pelan. Sedangkan Farell hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis melihat tingkah laku kekasihnya.
Baginya, ia sangat beruntung mempunyai kekasih yang perhatian dengannya entah itu dari hal-hal yang sangat kecil hingga besar.
Moreover, those little things that always makes Farell fall deeper and deeper with his boyfriend.
“Udah!”
“Rasanya agak seger gitu dah, ay.”
“Hahah ini bahan dasarnya dari air, jadi yaa emang bisa bikin seger gitu deh.”
Farell membaca bahan-bahan yang tertulis di botol sunscreennya. “Keren. Kalo yang bahan dasarnya dari susu gitu ada ga, ay?”
“Maksud lu?” Abid melotot.
“Kan kamu suka susu, jadi siapa tau ada yang bikin bahan dasarnya dari susu gitu deh, ay. Nanti biar aku beliin.”
“Ya aku suka susu mah ga sampe dipake buat sunscreen juga lah anjrit? Lagian di dunia ini siapa yang mau bikin sunscreen bahan dasarnya dari susu??” Abid menyubit lengan lelaki di sebelahnya.
“Ih di dunia ini mah ga ada yang ga mungkin, ay.”
“Contohnya?”
“Aku nikah sama kamu?”
“Apaaansiiiih?”
Raut wajah Farell mendadak terlihat sedikit sedih. “Ih kamu ngga mau nikah sama aku, Bid?”
“Ish, lagian lu ngomongin nikah-nikah jam 10 pagi gini apaan dah?” Abid menyubit pelan perut Farell beberapa kali, padahal, sebenarnya dalam hatinya itu ia sudah ingin membenturkan kepalanya berkali-kali ke dinding karena salah tingkah.
“Terus kamu maunya ngomongin kapan, Bid?” Farell menggenggam dan mengelus telapak tangan kekasihnya, namun yang digenggam langsung melepasnya dan menjewer telinga Farell.
“Aaaahhh anjrittt, Bid. Tenaga kamu tuh gedeee, jangan main fisik napa sih,” Farell meringis kesakitan.
“Ih, beneran sakit apa?”
“Tauk,” ucap Farell cuek.
“Eh, maaf sayaaang,” Abid mengelus telinga Farell yang kesakitan tetapi dengan segera tangan si manis ditepis. “Fareelll, jangan ngambek ih. Beneran tadi niatnya ga sampe sakit gitu, ay.”
“Ya ditebus dong kesalahannya, jangan malah nyerah gitu abis aku tepis.” Farell menatap Abid sinis.
“Dih, tadi aku elusin telinganya gamau, terus harus diapain dong?”
“Cium,” ucap Farell masih cuek.
“Emang anjrit banget dah, gue tau ini Farell ga mungkin ngambek masalah ginian doang. Pasti memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, tapi kalo ditolak malah makin lebar masalahnya ama monyet satu ini.” batin Abid setelah mendengar kalimat terakhir si lelaki April.
Tanpa berpikir panjang lagi, Abid pun langsung memajukan bibirnya untuk mencium telinga Farell.
cup!
“Langsung sembuh tuh, hehe.” Abid menyengir.
“Kurang. Harus 3 kali,” ucap Farell yang masih dengan nada cuek.
cup!
cup!
Untuk yang kedua, bibir Abid memang masih mengecup telinga Farell. Tetapi entah setan datang darimana—muncul secara tiba-tiba untuk membisikkan sebuah ide di telinga Farell untuk menolehkan wajahnya agar bibir milik kekasihnya mendarat persis di bibirnya. Dan akhirnya, kecupan yang ketiga kalinya, bibir Abid mendarat di bibir milik kekasihnya, bukan telinganya.
Tiba-tiba tensi di antara mereka berdua berubah menjadi sedikit tegang, dari yang sebelumnya hanya saling bergurau—apalagi tatapan Farell yang berubah menjadi sedikit sayu dan ia tiada hentinya menatap kedua bola mata lelaki manis yang lahir di bulan Agustus itu sambil mengelus kedua pipinya.
“Hehe... Bid, maaf tadi ngga minta izin dulu... but, may I kiss those pretty lips right now, babe?” ucap Farell dengan suara pelan, dan si lawan bicara hanya bisa menahan-nahan untuk tidak kabur karena perlakuan pemuda itu yang tiba-tiba membuat jantungnya berdetak sangat kencang. Namun, akhirnya Abid pun menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
Dengan inisiatif, Farell langsung memajukan wajahnya perlahan kedepan, dan setelah terasa ujung hidung mereka saling bersentuhan, dengan inisiatif lagi tangan Farell memegang tengkuk si manis dan mengecup bibirnya.
Awalnya hanya kecupan beberapa kali, tetapi setelah saling menyesuaikan posisi, kedua anak adam tersebut saling melumat bibir satu sama lain.
Setelah dirasa makin dalam ciuman mereka, secara naluri tangan Abid dengan nyamannya mulai melingkar di leher kekasihnya dan sedikit menjambak rambutnya karena secara tiba-tiba Farell menggigit pelan bawah bibirnya.
Tanpa disadari, ciuman mereka berlangsung selama beberapa menit, dan akhirnya terhenti karena Abid yang kehabisan nafas lebih dulu.
“Hehe, manis.” bisiknya penuh kejahilan sambil mengusap pelan bibir Abid dan menatapnya secara lekat-lekat.
Setelah selang beberapa detik, kali ini Abid yang berinisiatif memajukan bibirnya untuk menyium bibir seorang Farell Raksadipa Hanarko, bibir yang selalu menjadi candu baginya itu.
Setelah semakin lama dan semakin nyaman, Abid mendudukkan dirinya di atas kedua paha milik kekasihnya. Meskipun suasana semakin panas, tetapi di antara keduanya tidak ada yang berani untuk melanjutkan hal yang lebih intim—karena mereka berdua masih sadar akan umur mereka yang terhitung masih remaja itu dan belum pantas untuk melakukan hal tersebut.
“Mmmh,” terdengar pelan lenguhan Abid yang menandakan bahwa nafasnya sudah mulai habis lagi.
Farell menyengir sambil menatap kedua bola mata dan bibir milik lelaki kesayangannya secara bergantian. “I love you, babe.“
“I love you more, hehe.” Abid terlalu malu untuk sekedar memanggil lelaki itu dengan panggilan 'babe' setelah kejadian ciuman mereka barusan.
“Nah, I love you much much much much more.” Farell menggeleng ribut sambil memanyunkan bibirnya.
“Okays, I'll let you win this time.“
Even after they were over with their kissing agenda, but they can still feel those flying butterflies around inside their tummy...
“Aih si gemes. Let me carry you.” Dengan secepat kilat Farell mendudukkan Abid di sebelahnya, yang tadi sedang ia pangku, dan langsung berjongkok dan memunggungi si manis untuk memberikan gendongan.
“Mauuu kemana kita hari iniii?” Secara otomatis, ia memeluk punggung di hadapannya sambil melingkarkan tangannya di leher kekasihnya, dan tak lupa juga kakinya melingkar di pinggang agar tidak jatuh nanti.
Farell berdiri sambil menggendong Abid yang sedang menempel di punggungnya. “Harii inii kitaaaa mauu makann!” ucap Farell penuh gembira sambil berjalan menuju keluar rumah.
“Yayyy! Mari menggendut bersamaa!” keduanya pun tertawa lepas.