Para siswa dan siswi Neo 1 yang tadinya berbaris rapi di lapangan, sekarang mereka terlihat sedang memencar kesana dan kesini untuk ke kelas masing-masing, bagaikan semut-semut yang sedang berebut gula di dalam toples karena sang Ibu lupa menutupnya.

Namun, walaupun di tengah keramaian itu Farell masih bisa melihat raut wajah pacarnya yang sama-sama sedang mencari kehadiran satu sama lain.

Setelah Farell menemukan lelaki berwajah manis yang dari tadi ia cari, kedua tungkainya berjalan cepat menuju lelaki itu dan menyapanya dengan senyuman secerah matahari, meskipun pagi itu matahari sedang bersembunyi karena dikalahkan oleh mendungnya langit.

“Hai, gantengku,” sapa Farell.

“Eh, kaget anjrit. Padahal tadi aku kira kamu disana,” telunjuk jarinya menunjuk koridor seberang tempat dimana anak-anak kelas 11 IPA 8 berbaris.

“Hehe, aku abis dari toilet.”

“Hm, pantesan.” Abid berjalan sangat lambat dan Farell mengikuti langkahnya.

“DBL berapa minggu lagi, Rell?”

“4 minggu lagi sih, sebulanan.”

“Ooh, mumpung masih sebulanan lagi, weekend nanti jalan-jalan yuk?” ujar Abid dengan raut wajah yang sedikit memelas.

Farell reflek mengelus pelan pucuk kepala lelaki yang berada di sampingnya itu. “Hahah gemes banget dah, jangan memble gitu. Iya, nanti kita jalan-jalan ya.”

“Tapi gamau ya kalo nanti pas pergi, kamu tiba-tiba ada urusan mendadak kayak dulu.”

“Engga kok, nanti aku pastiin pas udah gaada urusan lagi, Bid.”

Belum sempat Abid menjawab kata-kata dari kekasihnya, tiba-tiba ada seorang perempuan yang menyela percakapan antara pasangan kekasih itu.

Icha menepuk pundak Farell dengan sedikit keras untuk menyapanya. “Farell!.”

“Anjing, kaget. Gue kira siapa anjir.. ternyata lo, Cha.” Icha menanggapinya hanya dengan tawanya dan ia langsung kabur dengan cepat.

Farell mengelus-elus pundaknya yang barusan ditepuk. “Sampe mana tadi aku jadi lupa, Bid.”

“Bahas nanti aja.”

“Lah? Ngambek? Orang dia nyapa bisa loh, ay.”

“Siapa juga yang ngambek?”

“Aku kenal kamu berapa tahun sih? Aku ngerti banget raut wajahmu kalo ngambek tuh gimana.” Tiba-tiba suasana di antara mereka berdua berubah. “Apalagi barusan ada kejadian gitu.”

“Dia berani kayak gitu tuh gara-gara kamu selalu terlalu baik ke semua orang tau gaksih? Semua orang gabisa nangkep apa yang kamu kasih ke orang dengan persepsi yang sama kayak kamu, Rell.”

“Tapi aku ga peduli mereka mikir apa tentang persepsi yang mereka tangkep setelah aku baik ke mereka, Bid.”

Langkah kaki keduanya berhenti di samping tangga yang menuju ke arah kelas Abid.

“Udah ya, Bid. Gausah dipeduliin lagi kayak gitu. Aku pedulinya cuma sama pacar aku doang. Mereka cuma temen biasa.” Farell sedikit menunduk karena sang lawan bicara sedang menunduk melihat ke bawah.

“Abid, kalo aku ngomong tuh dijawab dong.”

“Yaudah iya iya.”

“Gitu dong. Gausah memble lagi, ga keren.”

“Biarin. Aku emang ga keren.” Abid menjulurkan lidahnya untuk mengejek Farell.

“Buset, salah ngomong gua. Iya deh iya, Abid Sanubrata terkeren sejagat raya. Gaada yang bisa ngalahin.”

Andai saja sekarang bukan di sekolah, Farell pasti sudah menyubit kedua pipi gembul milik pacarnya dan memeluknya.

“Haha.” Abid tertawa sarkas.

“Iyee dah iye. Sekarang naik gih. Abis gini pelajaran apa?”

“Mat minat.”

“Oke. Semangat belajarnya ya, sayangku. Gausah dipikirin lagi yang tadi.” Farell mengacak rambut Abid.

“Iyaa, kamu semangat juga, ay.” Abid berjalan menjauh untuk menaiki tangga dan Farell membalas ucapan pacarnya dengan senyuman sambil menunggu sampai Abid sudah masuk ke dalam kelasnya.

Satu kebiasaan kecil mereka dari dulu. Farell selalu menunggu Abid untuk memasuki ruang kelasnya. Yah, hanya untuk berjaga-jaga dan memastikan saja kalau ia tidak akan kenapa-kenapa.

Tetapi ada satu situasi lagi, kalau setelah istirahat selesai dan Farell kembali menuju ruang kelasnya, Abid selalu menunggu dan memperhatikan sang pacar hingga kehadirannya menghilang dari penglihatannya.