“Emang kelas lu ada praktikum hari ini, Rell?” Icang menyerahkan jas lab miliknya kepada Farell.
“Kagaa, ini buat pacar gua hahahah.”
Icang menyilangkan kedua tangannya dan tertawa. “Yailah buciiin bucin. Pantesan gercep banget lu.”
“Yoi lah. Apa sih yang ga gua kasih buat ayang gua.”
“Reseee luuu.” Icang mendorong bahu Farell.
“Eh tumben kelas lu sepi banget. Biasanya dua bocah tuh rusuh jam segini.” Farell melihat jam tangannya dan mengintip sedikit ke dalam ruang kelas 11 IPA 1.
“Hahahah si Nova lagi pusing katanya, jadi rusuhnya di pending.”
“Anjrit di pending lu kata.” Selanjutnya yang terdengar di koridor itu hanya suara tawa mereka berdua. Padahal kondisi tempat itu sedang ramai karena banyak anak-anak yang sedang kesana kemari untuk pergi beristirahat di jam istirahat kedua ini.
“Ingetin cuy, jam terakhir gua pake.” Ia menanggapinya dengan mengacungkan jempolnya dan pergi berjalan menuju kelas Abid yang berada di lantai 2.
Sesampainya di ruang kelas miliki Abid, 11 IPA 5, kedua bola mata lelaki bertubuh tinggi dan berahang tegas tersebut langsung melihat ke seisi ruang kelas untuk mencari keberadaan pacarnya.
Ketemu.
Ternyata Abid sedang membereskan meja bangkunya yang berantakan akibat mata pelajaran barusan yang ia pelajari. Dan tidak lupa, di meja bangkunya selalu ada 1 kaleng Milo kesukaannya.
Tanpa permisi, Farell langsung bergegas menuju bangku milik Abid.
“Kiw, ganteng.”
Ia menghentikan kegiatannya sejenak saat melihat kekasihnya dataeng, “Eh, cepet banget. Padahal tadi aku mau nelpon kamu, Rell.”
“Hehe, kangen.” Farell menyubit kedua pipi kekasihnya yang sangat menggemaskan itu.
Jangan heran jika sepasang kekasih itu berpacaran di kelas milik Abid. Karena Farell memilih untuk menghabiskan waktu istirahatnya bersama lelaki kesayangannya, yang akhirnya sudah menjadi kebiasaan mereka saat istirahat selalu berduaan di kelas, entah itu melakukan dan membicarakan hal yang tidak penting atau penting.
Teman-teman kelasnya pun juga sudah terbiasa dengan kelakuan sepasang kekasih itu. Selain karena Farell yang merupakan seorang ketua koor dan otomatis pastinya sudah dikenal oleh satu sekolah, Farell sudah mengenal semua teman kelas Abid karena terlalu sering menghabiskan waktu istirahatnya di kelasnya sejak mereka duduk di bangku kelas 10.
“Nih jas lab nya. Nanti kalo udah langsung kasih ke Icang aja ya, soalnya jam terakhir mau dipake.” Tangan kanannya terulur ke depan untuk menaruh jas lab di atas meja Abid.
Abid melototkan matanya karena terkejut. “Loh? Kamu ga bilang kalo mau dipake....”
“Ya iya dipake, tapi kan masih jam terakhir gapapa.” Farell menduduki bangku kursi milik Kiki.
“Ih, ya aku sungkan, Rell. Kan mau dipake..... kalo tiba-tiba dia butuh abis gini gimana?”
“Ya ampun gapapa, Bid. Santai ajaa. Nggaa mungkin kalo dipake abis gini.” Tangannya menarik-narik tangan sang lawan bicara agar ikut duduk.
“Beneran loh ya. Tapi aku balikinnya juga sungkan, mana ga terlalu kenal Icang...” ucapnya sedikit cemas.
“Gapapa, dia tau kamu kok. Lagian IPA 1 kan ada Reno sama Nova, kalo sungkan banget kasih aja ke mereka.”
Abid menatapnya dengan sinis. “Eh, ya ga gitu konsepnya, monyet. Orang yang pinjem aku, ya berarti harus langsung ngasih ke yang punya dong.”
“Nah itu tau, pinter ih.” Farell mengacak rambut pacarnya.
“Monyeeeet!” Abid menyubit lengan Farell.
“Temen-temen kamu mana? Si Kiki sama Kezia?”
“Ke kantin. Aku gaikut soalnya mager. Lagian tadi udah makan siang kok.” Abid membuka tutup kaleng Milo-nya.
“Oh, ya gapapa dong ikut mereka makan lagi biar tambah ndut tambah emeshin,” lagi-lagi, Farell menyubit kedua pipi Abid dengan gemas.
“Diem lu anjir.” Abid menyingkirkan tangan Farell yang sedari tadi menempel di kedua pipinya.
“Kamu udah makan?”
“Udah dong. Tadi sebelum ambil jas lab aku udah ke kantin beli nasi ayam Bu Tik.”
Abid tertawa kecil melihat tingkah laku pacarnya yang sedang memegang perut karena kekenyangan. “Itu doang? Biasanya kamu dua porsi kalo makan.”
“Buset, dikira aku sumo apa ya. Aku makan itu doang kok, tapi abis itu masih jajan gorengan sih, hehe.” tangannya meraih kaleng Milo milik Abid dan meminumnya.
“Yah, jadi pengen gorengan Bu Tik,” ujar Abid memelas.
“Mau ke kantin sekarang? Atau aku beliin kamu disini aja.”
“Ngga ah. Kamu disini aja hehe sama akuuu.” Abid mengigit gemas lengan milik pacarnya, membuat sang empu mengerutkan dahi dengan kesal. “Anjir, ay. Gigitanmu tuh ga main-main sumpah.”
“Hehe, siapa suruh kamu gemesin, coba? Eh, tapi otot kamu gede padahal? Masa sakit sih?” Abid sudah berancang-ancang untuk mencoba mengigit tangannya, namun lelaki di sampingnya langsung menarik tangannya. “Gausah dicoba, dibilangin sakit beneran kok.”
“Aah iya iyaa, jangan marah... lain kali gigitnya pelan deh, hehehe.” Abid mengelus dan mencium lengan Farell yang barusan ia gigit.
“Yakali aku marah ah.” Farell menyubit pipi Abid dan tertawa karena kegemasan Abid barusan.
“Mau gigit lagi,” Abid memohon dan memelas, seperti kucing sedang meminta makanan kepada majikannya.
“Gaada jatah gigit-gigit lagi hari ini.”
“Anjrit bahasa lu jatah gigit-gigit bikin ambig, nyet.”
“Pikiran lu aja yang mesum kali. Emang ada gigit apaan selain gigit lengan?”
“Gigit mulut lu biar diem ga banyak cingcong.”
“Yah bibir aku maunya dicium bukan digigit, ay.”
“FARELL RAKSADIPAAA, DIEM LU ANJIIR.”
Selanjutnya, pembicaraan mereka hanya mengarah ke hal-hal yang tidak penting tapi berhasil membuat mereka berdua tertawa sampai ingin mengompol di tempat.